Al-Qur’an
menggunakan konsep produksi barang dalam artian luas. Al-Qur’an menekankan
manfaat dari barang yang diproduksi. Memproduksi suatu barang harus mempunyai
hubungan dengan kebutuhan manusia. Berarti barang itu harus diproduksi untuk
memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memproduksi barang mewah secara
berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan manusia, karenanya tenaga kerja
yang dikeluarkan untuk memproduksi barang tersebut dianggap tidak produktif.
Produksi
adalah sebuah proses yang telah terlahir di muka bumi ini semenjak manusia
menghuni planet ini. Produksi sangat prinsip bagi kelangsungan hidup dan juga
peradaban manusia dan bumi. Sesungguhnya produksi lahir dan tumbuh dari
menyatunya manusia dengan alam.[1] Kegiatan produksi merupakan mata
rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan produksilah yang menghasikan
barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para konsumen.Tanpa produksi maka kegiatan ekonomi akan berhenti, begitu pula sebaliknya.
Untuk menghasilkan barang dan jasa kegiatan produksi melibatkan banyak
faktor produksi. Fungsi produksi menggambarkan hubungan antar jumlah input dengan
output yang dapat dihasilkan dalam satu waktu periode tertentu. Dalam teori
produksi memberikan penjelasan tentang perilaku produsen tentang perilaku
produsen dalam memaksimalkan keuntungannya maupun mengoptimalkan efisiensi
produksinya. Dimana Islam mengakui pemilikian pribadi dalam batas-batas
tertentu termasuk pemilikan alat produksi, akan tetapi hak tersebut tidak
mutlak.[2]
A.
Pengertian Produksi
Produksi adalah kegiatan manusia
untuk menghasilkan barang dan jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh konsumen.
Secara teknis produksi adalah proses mentransformasi input menjadi output,
tetapi definisi produksi dalam pandangan ilmu ekonomi jauh lebih luas.
Pendefinisian produksi mencakup tujuan kegiatan menghasilkan output serta
karakter-karakter yang melekat padanya. Beberapa ahli ekonomi islam memberikan
definisi yang berbeda mengenai pengertian produksi, meskipun substansinya sama.
Berikut pengertian produksi menurut para ekonomi muslim kontemporer.
1. Karf (1992) mendefinisikan kegiatan
produksi dalam perspektif islam sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak
hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana untuk
mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama islam, yaitu
kebahagiaan dunia dan akhirat.
2. Rahman (1995) menekankan pentingnya
keadilan dan kemerataan produksi (distribusi produksi secaraa merata)
3. Al Haq (1996) menyatakan bahwa
tujuan dari produksi adalah memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang
merupakan fardlu kifayah, yaitu kebutuhan yang bagi banyak orang
pemenuhannya bersifat wajib.
Dalam definisi-definisi tersebut
diatas terlihat sekali bahwa kegiatan produksi dalam perspektif ekonomi islam
padaa akhirnya mengerucut pada manusia dan eksistensinya, meskipun
definisi-definisi tersebut berusaha mengelaborasi dari perspektif yang berbeda.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kepentingan manusia yang sejalan
dengan moral islam, harus menjadi fokus atau target dari kegiataan produksi.
Produksi adalah proses mencari, mengalokasikan dan mengolah sumber daya menjadi
output dalam rangka meningkatkan mashlahah bagi manusia. Produksi juga mencakup
aspek tujuan kegiatan menghasilkan output serta karakter-karakter yang melekat
pada proses dan hasilnya.[3]
B.
Tujuan Produksi
Dalam konsep ekonomi konvensional (kapitalis) produksi
dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya, berbeda dengan tujuan
produksi dalam islam yang bertujuan untuk memberikan Mashlahah yang
maksimum bagi konsumen. Walaupun dalam ekonomi islam tujuan utamannya adalah
memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang selama berada dalam
bingkai tujuan dan hukum islam. Secara lebih spesifik, tujuan kegiatan produksi
adalah meningkatkan kemashlahatan yang bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk
diantaranya:
1. Pemenuhan kebutuhan manusai pada
tingkat moderat.
2. Menemukan kebutuhan masyarakat da
pemenuhannya.
3. Menyiapkan persediaan barang/jasa
dimasa depan.
4. Pemenuhan sarana bagi kegaitan
social dan ibadah kepada Allah.
Tujuan produksi yang pertama sangat jelas, yaitu
pemenuhn sarana kebutuhan manusia pada takaran moderat. Hal ini akan
menimbulkan setidaknya dua implikasi. Pertama, produsen hanya
menghasilkan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan meskipun belum tentu
merupakan keinginan konsumen. Barang dan jasa yang dihasilkan harus memiliki
manfaat riil bagi kehidupan yang islami. Kedua, kuantitas produksi tidak
akan berlebihan, tetapi hanya sebatas kebutuhan yang wajar. Produksi barng dan
jasa secara berlebihan tidak saja menimbulkan mis-alokasi sumber daya ekonomi
dan kemubaziran, tetapi juga menyebabkan terkurasnya sumber daya ekonomi ini
secara cepat.
Meskipun poduksi hanya menyediakan sarana kebutuhan
manusia tidak berarti bahwa produsen sekadar bersikap reaktif terhadap
kebutuhan konsumen. Produsen harus proaktif, kreatif dan inovatif
menemukan berbagai barang dan jasa yang memang dibutuhkan oleh manusia. Sikap
proaktif ini juga harus berorientasi kedepan, dalam arti: pertama,
menghasilkan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kehidupan masaa
mendatang; kedua, menyadari bahwa sumber daya ekonomi, baik natural
resources atau non natural resources, tidak hanya
diperuntukkan bagi manusia yang hidup sekarang, tetapi juga untuk generasi
mendatang.
Orientasi kedepan ini akan mendorong produsen untuk
terus menerus melakukan riset dan pengembangan guna menemukan berbagai jenis kebutuhan,
teknologi yang diterapkan, serta berbagai standar lain yang sesuai dengan
tuntutan masa depan. Efisiensi dengan sendirinya juga akan senantiasa
dikembangkan, sebab dengan cara inilah kelangsungan dan kesinambungan
pembangunan akan terjaga. Ajaran islam juga memberikan peringatan yang keras
terhadap prilaku manusia yang gemar membuat kerusakan dan kebinasaan, termasuk
kerusakan lingkungan hidup, demi mengejar kepuasaan.
Tujuan yang terakhir yaitu pemenuhan sarana bagi
kegiatan social dan ibadah kepada Allah. Sebenarnya ini merupakan tujuan
produksi yang paling orisinal dari ajaran islam. Dengn kata lain, tujuan
produksi adalah mendapatkan berkah, yang secara fisik belum tentu dirasakan
oleh pengusaha itu sendiri.[4]
C.
Faktor Produksi
Dalam pandangan Baqir Sadr (1979), ilmu ekonomi dapat
dibagi menjadi dua bagian yaitu: Perbedaan ekonomi islam dengan ekonomi
konvesional terletak pada filosofi ekonomi, bukan pada ilmu ekonominya.
Filosofi ekonomi memberikan pemikiran dengan nilai-nilai islam dan
batasan-batasan syariah, sedangkan ilmu ekonomi berisi alat-alat analisis
ekonomi yang dapat digunakan. Dengan kata lain, faktor produksi ekonomi islam
dengan ekonomi konvesional tidak berbeda, yang secara umum dapat dinyatakan
dalam :
a. Faktor produksi tenaga kerja
b. Faktor produksi bahan baku dan bahan
penolong
c. Faktor produksi modal
Di antara ketiga factor produksi, faktor produksi
modal yang memerlukan perhatian khusus karena dalam ekonomi konvesional
diberlakukan system bunga. Pengenaan bunga terhadap modal ternyata membawa
dampak yang luas bagi tingkat efisiansi produksi. ‘Abdul-Mannan mengeluarkan
modal dari faktor produksi perbedaan ini timbul karena salah satu da antara dua
persoalan berikut ini: ketidakjelasan antara faktor-faktor yang terakhir dan
faktor-faktor antara, atau apakah kita menganggap modal sebagai buruh yang
diakumulasikan, perbedaan ini semakin tajam karena kegagalan dalam memadukan
larangan bunga(riba) dalam islam dengan peran besar yang dimainkan oleh modal
dalam produksi.
Kegagalan ini disebabkan oleh adanya prakonseps
kapitalis yang menyatakan bahwa bunga adalah harga modal yang ada dibalik
pikiran sejumlah penulis. Negara merupakan faktor penting dalam produksi, yakni
melalui pembelanjaannya yang akan mampu meningkatkan produksi dan melalui
pajaknya akan dapat melemahkan produksi.
Pemerintah akan membangun pasar terbesar untuk barang
dan jasa yang merupakan sumber utama bagi semua pembangunan. Penurunan belanja
negara tidak hanya menyebabkan kegiatan usaha menjadi sepi dan menurunnya
keuntungan, tetapi juga mengakibatkan penurunan dalam penerimaan pajak. Semakin
besar belanja pemerintah, semakin baik perekonomian karena belanja yang tinggi
memungkinkan pemerintah untuk melakukan hal-hal yang dibutuhkan bagi penduduk
dan menjamin stabilitas hukum, peraturan, dan politik. Oleh karena itu, untuk
mempercepat pembangunan kota, pemerintah harus berada dekat dengan masyarakat
dan mensubsidi modal bagi mereka seperti layaknya air sungai yang membuat hijau
dan mengaliri tanah di sekitarnya, sementara di kejauhan segalanya tetap
kering.
Faktor terpenting untuk prospek usaha adalah
meringankan seringan mungkin beban pajak bagi pengusaha untuk menggairahkan kegiatan
bisnis dengan menjamin keuntungan yang lebih besar (setelah pajak). Pajak dan
bea cukai yang ringan akan membuat rakyat memiliki dorongan untuk lebih aktif
berusaha sehingga bisnis akan mengalami kemajuan. Pajak yang rendah akan
membawa kepuasan yang lebih besar bagi rakyat dan berdampak kepada penerimaan
pajak yang meningkat secara total dari keseluruhan penghitungan pajak.
D.
Prinsip-Prinsip Produksi Dalam Ekonomi Islam
Pada prinsipnya kegiatan produksi
terkait seluruhnya dengan syariat Islam, dimana seluruh kegiatan produksi harus
sejalan dengan tujuan dari konsumsi itu sendiri. Konsumsi seorang muslim
dilakukan untuk mencari falah (kebahagiaan), demikian pula
produksi dilakukan untuk menyediakan barang dan jasa guna falah tersebut.
Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah Saw
memberikan arahan mengenai prinsip-prinsip produksi,yaitu sebagai
berikut:
1. Tugas manusia di muka bumi sebagai
khalifah Allah adalah memakmurkan bumi dengan ilmu dan amalnya. Allah
menciptakan bumi dan langit berserta segala apa yang ada di antara keduanya
karena sifat Rahman dan Rahiim-Nya bkepada manusia. Karenanya sifat tersebut
juga harus melandasi aktivitas manusia dalam pemanfaatan bumi dan langit dan
segala isinya.
2. Islam selalu mendorong kemajuan di
bidang produksi. Menurut Yusuf Qardhawi, Islam membuka lebar penggunaan
metode ilmiah yang didasarkan pada penelitian, eksperimen, dan perhitungan.
Akan tetapi Islam tidak membenarkan penuhan terhadap hasil karya ilmu
pengetahuan dalam arti melepaskan dirinya dari Al-qur’an dan Hadis.
3. Teknik produksi diserahklan kepada
keingunan dan kemampuan manusia. Nabi pernah bersabda:”kalian lebih mengetahui
urusan dunia kalian.”
4. Dalam berinovasi dan bereksperimen,
pada prinsipnya agama Islam menyukai kemudahan, menghindari mudarat dan memaksimalkan
manfaat. Dalam Islam tidak terdapat ajaran yang memerintahkan membiarkan segala
urusan berjalan dalam kesulitannya, karena pasrah kepada keberuntungan atau
kesialan, karena berdalih dengan ketetapan-Nya, sebagaimana keyakinan yang
terdapat di dalam agama-agama sealin Islam. Seseungguhnyan Islam mengingkari
itu semua dan menyuruh bekerja dan berbuat, bersikap hati-hati dan melaksanakan
selama persyaratan. Tawakal dan sabar adalah konsep penyerahan hasil kepada
Allah SWT. Sebagi pemilik hak prerogatif yang menentukan segala sesuatu setelah
segala usaha dan persyaratan dipenuhi dengan optimal.[5]
Adapun kaidah-kaidah dalam berproduksi antara lain adalah:
1.
Memproduksikan
barang dan jasa yang halal pada setiap tahapan produksi.
2.
Mencegah
kerusakan di muka bumi, termasuk membatasi polusi, memelihara keserasian, dan
ketersediaan sumber daya alam.
3.
Produksi
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat serta
mencapai kemakmuran. Kebutuhan yang harus dipenuhi harus berdasarkan prioritas
yang ditetapkan agama, yakni terkait dengan kebutuhan untuk tegaknya
akidah/agama, terpeliharanya nyawa, akal dan keturunan/kehormatan, serta untuk
kemakmuran material.
4.
Produksi
dalam islam tidak dapat dipisahkan dari tujuan kemanirian umat. Untuk itu
hendaknya umat memiliki berbagai kemampuan, keahlian dan prasarana yang
memungkinkan terpenuhinya kebutuhan spiritual dan material. Juga terpenuhinya
kebutuhan pengembangan peradaban, di mana dalam kaitan tersebut para ahli fiqh
memandang bahwa pengembangan di bidang ilmu, industri, perdagangan, keuangan
merupakan fardhu kifayah, yang dengannya manusia biasa melaksanakan urusan
agama dan dunianya.
5.
Meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia baik kualitas spiritual maupun mental dan fisik.
Kualitas spiritual terkait dengan kesadaran rohaniahnya, kualitas mental
terkait dengan etos kerja, intelektual, kreatifitasnya, serta fisik mencakup
kekuatan fisik,kesehatan, efisiensi, dan sebagainya. Menurut Islam, kualitas
rohiah individu mewarnai kekuatan-kekuatan lainnya, sehingga membina
kekuatan rohaniah menjadi unsur penting dalam produksi Islami.
Prinsip dasar ekonomi Islam adalah keyakinan kepada
Allah SWT sebagai Rabb dari alam semesta. Ikrar akan keyakinan ini menjadi
pembuka kitab suci umat Islam.
Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit
dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum
yang berfikir. (Al-jaatsiyah:13)
Rabb, yang seringkali diterjemahkan “Tuhan” dalam bahasa
Indonesia, memiliki makna yang sangat luas, mencakup antara lain “pemelihara
(al-murabbi), penolong (al-nashir), pemilik (al-malik),yang memperbaiki
(al-mushlih), tuan (al-sayyid) dan wali (al-wali). Konsep ani bermakna bahwa
ekonomi Islam berdiri di atas kepercayaan bahwa Allah adalah satu-satunya
Pencipta, Pemilik, dan Pengendali alam raya yang dengan takdir-Nya menghidupkan
dan mematikan serta mengendalikan alam dengan ketetapan-Nya (sunatullah).
Dengan keyakinan akan peran dan kepemilikan absolut
dari Allah Rabb semesta alam, maka konsep produksi di dalam ekonomi Islam tidak
semata-mata bermotif maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih penting untuk
mencapai maksimalisasi keuntungan akhirat. Ayat 77 surat al-Qashas mengingatkan
manusia untuk mencari kesejahteraan akhirat tanpa melupakan urusan dunia.
Artinya, urusan dunia merupakan sarana untuk memperoleh kesejahteraan akhirat.
Orang bisa berkompetisi dalam kebaikan untuk urusab dunia, tetapi sejatinya
mereka sedang berlomba-lomba mencapai kebaikan di akhirat.
Islam pun sesungguhnya menerima motif-motif
berproduksi seperti pola pikir ekonomi konvensional tadi. Hanya bedanya, lebih
jauh Islam juga menjelaskan nilai-nilai moral di samping utilitas ekonomi.
Bahkan sebelum itu, Islam menjelaskan mengapa produksi harus dilakukan. Menurut
ajaran Islam, manusia adalah khalifatullah atau wakil Allah
dimuka bumi dan berkewajiban untuk memakmurkan bumi dengan jalan beribadah
kepada-Nya. Dalam QS. Al-An’am(6) ayat 165 Allah berfirman:
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di
bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa
derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha
penyayang”.
Pernyataan senada juga terdapat pada QS. Yunus (10)
ayat 14:
“Kemudian kami jadikan kamu pengganti-pengganti
(mereka) dimuka bumi sesudah mereka, supaya kami memerhatikan bagiaman kamu
berbuat.”
Islam juga mengajarkan bahwa sebaik-baik orang adalah
orang yang banyak manfaatnya bagi orang lain atau masyarakat. Fungsi beribadah
dalam arti luas ini tidak mungkin dilakukan bila seseorang tidak bekerja atau
berusaha. Dengan demikian, bekerja dan berusaha itu menempati posisi dan
peranan sangat penting dalam Islam. Sangatlah sulit untuk membayangkan
seseorang yang tidak bekerja dan berusaha, terlepas dari bentuk dan jenis
pekerjaanya, dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifatullah yang
membawa rahmatan lil alamin inilah, seseorang produsen tentu tidak akan
mengabaikan masalah eksternalitas seperti pencemaran.
Bagi Islam, memproduksi sesuatu bukanlah sekedar untuk
di konsumsi sendiri atau di jual ke pasar. Dua motivasi itu belum cukup, karena
masih terbatas pada fungsi ekonomi. Islam secara khas menekankan bahwa setiap
kegiatan produksi harus pula mewujudkan fungsi sosial. Ini tercermin dalam QS.
Al-Hadid(57) ayat 7:
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan
nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu
menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan
(sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.”
Kita harus melakukan hal ini karena memang dalam
sebagian harta kita melekat hak orang miskin, baik yang meminta maupun tidak
meminta.(QS.51:19 dan QS.70:25). Agar mampu mengemban fungsi sosial seoptimal
mungkin, kegiatan produksi harus melampaui surplus untuk mencukupi keperluan
konsutif dan meraih keuntungan finansial, sehingga bisa berkontribusi kehidupan
sosial.
Melalui konsep inilah, kegiatan produksi harus
bergerak di atas dua garis optimalisasi. Tingkatan optimal pertama adalah
mengupayakan berfungsinya sumberdaya insani ke arah pencapaian kondisi full
employment, dimana setiap orang bekerja dan menghasilkan karya kecuali
mereka yang “udzur syar’i” seperti sakit dan lumpuh. Optimalisasi
berikutnya adalah dalam hal memproduksi kebutuhan primer (dharuriyyat), lalu
kebutuhan sekunder (hajiyyat) dan kebutuhan tersier (tahsiniyyat) secara
proposional. Tentu saja Islam harus memastikan hanya memproduksikan sesuatu
yang halal dan bermanfaat buat masyarakat (thayyib). Target yang harus dicapai
secara bertahap adalah kecukupan setiap individu, swasembada ekonomi umat dan
kontribusi untuk mencukupi umat dan bangsa lain.
Pada prinsipnya Islam juga lebih menekankan
berproduksi demi untuk memenuhi kebutuhan orang banyak, bukan hanya sekedar
memenuhi segelintir orang yang memiliki uang, sehingga memiliki daya beli yang
lebih baik. Karena itu bagi Islam., produksi yang surplus dan berkembang baik
secara kuantitatif maupun kualitatif, tidak dengan sendirinya mengindikasikan
kesejahteraan bagi masyarakat. Apalah artinya produk yang menggunung jika hanya
bisa didistribusikan untuk segelintir orang yang memiliki uang banyak.
Sebagai dasar modal berproduksi, Allah telah
menyediakan bumi beserta isinya bagi manusia, untuk diolah bagi kemaslahatan
bersama seluruh umat manusia. Hal ini terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 22:
“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu
dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan
dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu, karena itu
janganlah kamu mengadakan sekutu-kutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”[6]
F.
Nilai-nilai Islam dalam berproduksi
Upaya produsen untuk memperoleh mashlahah yang
maksimum dapat terwujud apabila produsen mengaplikasikan nilai-nilai islam.
Dengan kata lain, seluruh kegiatan produksi terikat pada tatanan nilai moral
dan teknikal yang islami. Metwally mengatakan, “perbedaan dari
perusahan-perusahan non muslim tak hanya pada tujuannya, tetapi juga pada
kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi pasarnya.
Nilai-nilai islam yng relevan dengan produksi
dikembangkan dari tiga nilai utama dalm ekonomi islam, yaitu: khilafah, adil,
dan takaful.secara lebih rinci nilai-nilai islam dalam produksi meliputi:
1. Berwawasan jangka panjang, yaitu
berorientasi kepada tujuan akhirat;
2. Menepati janji dan kontrak, baik
dalam lingkup internal atau eksternal;
3. Memenuhi takran, ketepatan,
kelugasan dan kebenaran;
4. Berpegang teguh pada kedisiplinan
dan dinamis;
5. Memuliakan prestasi/produktifitas;
6. Mendorong ukhuwah antarsesama pelaku
ekonomi;
7. Menghormati hak milik individu;
8. Mengikuti syarta sah dan rukun
akad/transaksi;
9. Adil dalam bertransaksi;
10. Memiliki wawasan social;
11. Pembayaran upah tepat waktu dan
layak;
12. Menghindari jenis dan proses
produksi yang diharamkan dalm islam.
Penerapan nilai-nilai diatas dalam produksi tidak saja
akan mendatangkan keuntungan bagi produsen, tetapi sekaligus mendatangkan
berkah. Kombinasi keuntungan dan berkah yang diproleh oleh produsen merupakan
satu mashlahah yang akan member kontribusi bagi tercapinyafalah. Dengan
cara ini, maka produsen akan memperoleh kebahagiaan hakiki, yaitu kemuliaan
tidak saja di dunia tetapi juga diakhirat.[7]
G.
Prilaku Produsen Muslim Vs Non Musli
Muhammad (2004) berpendapat bahwa sistem ekonomi
Islami digambarkan seperti bangunan dengan atap akhlak. Akhlak akan mendasari
bagi seluruh aktivitas ekonomi, termasuk aktivitas ekonomi produksi. Menurut
Qardhawi dikatakan, bahwa:
“Akhlak merupakan hal yang utama dalam produksi yang
wajib diperhatikan kaum muslimin, baik secara individu maupun secara
bersama-sama, yaitu bekerja pada bidang yang dihalalkan oleh Allah swt, dan
tidak melampaui apa yang diharamkannya.”
Meskipun ruang lingkup yang halal itu sangat luas,
akan tetapi sebagian besar manusia sering dikalahkan oleh ketamakan dan
kerakusan. Mereka tidak merasa cukup dengan yang banyak karena mereka
mementingkan kebutuhan dan hawa nafsu tanpa melihat adanya suatu akibat yang
akan merusak atau merugikan orang lain. Tergiur dengan kenikmatan sesaat. Hal
ini dikatakan sebagai perbuatan yang melampaui batas, yang demikian inilah
termasuk kategori orang-orang yang zalim. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. (Al Baqarah:
229)
Seorang produsen muslim harus berbeda dari produsen
non muslim yang tidak memperdulikan batas-batas halal dan haram, mementingkan
keuntungan yang maksimum semata, tidak melihat apakah produk mereka memberikan
manfaat atau tidak, baik ataukah buruk, sesuai dengan nilai dan akhlak ataukah
tidak, sesuai dengan norma dan etika ataukah tidak. Akan tetapi seorang muslim
harus memproduksi yang halal dan tidak merugikan diri sendiri maupun masyarakat
banyak, tetap dalam norma dan etika serta akhlak yang mulia.
“Seorang muslim tidak boleh memudharatkan diriya
sendiri dan orang lain, tidak boleh memudharatkan dan saling memudharatkan
dalam islam. “Barang siap dalam Islam yang memprakasai suatu perbuatan yag
buruk, maka baginya dosa dan dosa yang mengerjakannya sesudahnya, tanpa
mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi,
Nasa’I, dan Ibnu Majah dari Jarir).”
Sangat diharamkan memproduksi segala sesuatu yang
merusak akidah dan akhlak serta segala sesuatu yang menghilangkan identitas
umat, merusak nilai-nilai agama, menyibukkan pada hal-hal yang sia-sia dan
menjauhkan kebenaran, mendekatkan kepada kebatilan, mendekatkan dunia dan
menjauhkan akhirat, merusak kesejahteraan individu dan kesejahteraan umum.
Produser hanya mementingkan kekayaan uang dan pendapatan yang maksimum semata,
tidak melihat halal dan haram serta tidak mengindahkan aturan dan ketentuan
yang telah ditetapkan oleh agama.
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
bahwa norma dan etika seorang produsen muslim adalah:
1. Norma Produsen Muslim
a. Menghindari sifat tamak dan rakus
b. Tidak melampaui batas serta tidak
berbuat zhalim
c. Harus memperhatikan apakah produk
itu memberikan manfaat atau tidak, baik ataukah buruk, sesuai dengan nilai dan
akhlak ataukah tidak, sesuai dengan norma dan etika ataukah tidak.
d. Seorang muslim harus memproduksi
yang halal dan tidak merugikan diri sendiri maupun masyarakat banyak, tetap
dalam norma dan etika serta akhlak yang mulia.
2. Etika Produsen Muslim
a. Memperhatikan halal dan haram.
b. Tidak mementingkan keuntungan
semata.
c. diharamkan memproduksi segala
sesuatu yang merusak akidah dan akhlak serta segala sesuatu yang menghilangkan
identitas umat, merusak nilai-nilai agama, menyibukkan pada hal-hal yang
sia-sia dan menjauhkan kebenaran, mendekatkan kepada kebatilan, mendekatkan
dunia dan menjauhkan akhirat, merusak kesejahteraan individu dan kesejahteraan
umum.
Jelaslah terlihat bahwa produsen muslim harus
memperhatikan semua aturan yang telah ditetapkan sesuai dengan ajaran islam,
sementara produsen non muslim tidak mempunyai aturan-aturan seperti yang
tersebut diatas.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kegiatan produksi merupakan mata
rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan produksilah yang menghasikan
barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para konsumen. Tanpa produksi maka
kegiatan ekonomi akan berhenti, begitu pula sebaliknya. Untuk mengahasilkan
barang dan jasa kegiatan produksi melibatkan banyak faktor produksi.
Beberapa implikasi mendasar bagi kegiatan produksi dan perekonomian secara
keseluruhan, antara lain : Seluruh kegiatan produksi terikat pada tataran
nilai moral dan teknikal yang Islami, kegiatan produksi harus
memperhatikan aspek sosial-kemasyarakatan, permasalahan ekonomi muncul
bukan saja karena kelangkaan tetapi lebih kompleks.
DAFTAR REFERENSI
[3] Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), hal. 230
[5] Mustafa Edwin
Nasution,dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta:
Kencana, 2007), hal. 108
0 komentar:
Posting Komentar