Minggu, 06 November 2016

Riba Dalam Pencatatan Akuntansi



BAB I
A.      Latar Belakang
Akuntansi sebagai ilmu yang akhir-akhir ini banyak diminati dan dipelajari oleh masyarakat di dunia tentunya harus memiliki teori-teori serta konsep yang dapat sesuai dan sejalan dengan kehidupan di masyarakat. Ilmu akuntansi harus dapat berkembang serta digunakan tanpa merugikan seseorang yang sedang melakukan suatu kegiatan transaksi.
Akuntansi yang dikenal saat ini, berkembang berdasarkan tata nilai yang ada dalam masyarakat barat, maka konsep-konsep yang dipakai sebagai dasar pembuatan dan pengembangan standar akuntansi berpihak kepada kelompok kepentingan tertentu. Dari sisi ilmu pengetahuan, akuntansi adalah ilmu yang mencoba mengkonversi bukti data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya dan laba yang sekaligus sebagai praktik moral dalam pencatatan, akuntansi secara ideal dibangun dan di praktikkan berdasarkan nilai-nilai etika, sehingga informasi yang dipancarkan juga bernuansa etika, dan akhirnya keputusan-keputusan ekonomi yang diambil berdasarkan etika yang mendorong diciptakannya realitas ekonomi dan bisnis yang beretika. Sebagai praktik diskursif, akuntansi dipandang sebagai alat menyampaikan informasi kepada orang lain yang berpengaruh pada perilaku penggunanya, dan sebaliknya pengguna informasi akuntansi mempunyai kemampuan mempengaruhi akuntansi sebagi instrumen bisnis.
Sering terjadinya kegagalan akuntansi konvensional dalam memenuhi permintaan masyarakat akan informasi keuangan yang benar, jujur dan adil, meningkatkan kesadaran di kalangan intelektual muslim akan perlunya pengetahuan akuntansi yang islami. Perumusan kembali konsep-konsep pelaporan transaksi keuangan dengan mendasarkan pada prinsip kebenaran, kejujuran dan keadilan menjadi sangat mendesak untuk dilakukan. Oleh karena itu, akuntansi syariahlah yang sekiranya mampu memberikan jalan terbaik dalam mengatur suatu kegiatan bertransaksi yang menghindari adanya bunga yang memunculkan riba.
Hal ini sesuai dengan konsep dasar yang telah diperkenalkan oleh Al Qur’an jauh sebelum Lucas Pacioli yang dikenal sebagai bapak Akuntansi memperkenalkan konsep Akuntansi doubele entry bookeeping dalam salah satu bukunya yang di tulisnya pada tahun 1494. Hal ini dapat dilihat berdasarkan surah Al Baqarah ayat 282 yang intinya secara garis besar Allah telah menggariskan konsep akuntansi yang menekankan pertanggungjawaban atau akuntabilitas dan kebenaran yang menekankan adanya pertanggungjawaban.
Dengan kata lain, Islam menganggap bahwa transaksi ekonomi (muamalah) memiliki nilai urgensi yang sangat tinggi, sehingga adanya pencatatan dapat dijadikan sebagai alat bukti (hitam di atas putih),  menggunakan saksi (untuk transaksi yang material) sangat diperlukan karena dikhawatirkan pihak-pihak tertentu mengingkari perjanjian yang telah dibuat. Untuk itulah pembukuan yang disertai penjelasan dan persaksian terhadap semua aktivitas ekonomi keuangan harus berdasarkan surat-surat bukti berupa: faktur, nota, bon kuitansi atau akta notaries untuk menghindari perselisihan antara kedua belah pihak. Dan tentu saja adanya sistem pelaporan yang komprehensif akan memantapkan manajemen karena semua transaksi dapat dikelola dengan baik sehingga terhindar dari kebocoran-kebocoran.
Dari beberapa uraian diatas sangat jelas bahwa islam dalam melaksanakan berbagai transaksi perlu adanya pencatatan yang diikuti saksi atau bukti secara jelas dan gamblang dengan menghlangkan sistem riba yang biasa muncul dalam hal pinjam meminjam dan jual beli secara kredit.

B.       Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini menekankan pada bukti pencatatan akuntansi pendapatan bunga serta hutang bunga yang sering dan bahkan dilakukan oleh pelaku ekonomi secara nyata akan terjadinya riba.

C.      Rumusan Masalah
Dari beberapa penjelasan tersebut diatas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.      Apakah pengertian riba ?
2.      Bagaimanakah pencatatan akuntansi yang dilakukan pelaku ekonomi atapun perusahaan ?
3.      Dampak riba yang dilaksanakan oleh pelaku ekonomi yang berbasis konvensional ?
4.      Bagaimana cara menghindari riba para pelaku ekonomi ?

 
BAB II
A.      Pengertian Riba
Secara bahasa riba berarti Ziyadah ( زیادة ) atau tambahan, dan secara istilah berarti tambahan pada harta yang disyaratkan dalam transaksi dari dua pelaku akad dalam tukar menukar antara harta dengan harta. Sebagian ilama ada yang menyandarkan definisi riba pada hadist yang diriwayatkan al Harits bin Usamah dari ali bin Abi Thalib, yaitu bahwa Rasulullah SAW bersabda “ setiap hutang yang menimbulkan manfaat adalah Riba.
Pendapat ini tidak tepat, karena hadist itu sendiri sanadnya lemah, sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Jumhur ulama tidak menjadikan hadist ini sebagai definisi riba karena tidak menyeluruh dan tidak lengkap, disamping itu ada manfaat yang bukan riba yaitu pemberian tambahan atas hutang tersebut tidak disyaratkan.
Pendapat lain mengatakan bahwa pengertian riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam islam
1.      Dalil Mengharamkan Riba
Riba secara mutlak telah di haramkan oleh Allah Swt danRasulullah Saw melalui ayat-ayat Al Qur’an dan Sunnagh Rasulullah Saw diantaranya sebagai berikut :
a.       Al Qur’an
Al Qur’an menjelaskan haram hukumnya riba dalam empat marhalah/tahap. Doktor Wahbat Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan tahapan tersebut adalah ;
1)        Tahap Pertama
Allah Swt telah berfirman yang artinya “ Dan sesuatu (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah”. (QS. Ar Rum : 39)
Ayat yang diturunkan di Makkah ini menjadi tamhid atau awal mula diharamkannya tambahan atau riba dan urgensi untuk menjauhi riba.
2)        Tahap Kedua
Pada tahapan ini larangan riba di tujukan untuk kaum Yahudi atas kezaliman yang telah dilakukan, sesuai dengan firman Allah Swt “ Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka(tambahan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah” (QS. An Nisa : 160-161)
Ayat yang turun di Madinah ini menceritakan tentang perilaku Yahudi yang memakan riba dan di hukum oleh Allah dimana menekankan suatu peringatan bagi pelaku riba..
3)        Tahap Ketiga
Al Qur’an mengharamkan jenis riba yang bersifat Fahisy, yaitu riba jahiliyah yang berlipat ganda. Allah berfirman
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” ( QS. Ali Imran : 130 )
4)        Tahap Keempat
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkakn riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan)”. (QS. Al Baqarah : 275)
Dalam surah yang sama Allah Berfirman“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok  hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya” (QS. Al Baqarah: 278-279)
Pada tahap ini Al Qur’an telah mengharamkan seluruh riba dan segala macamnya baik jenis dan macam riba bukan saja riba Jahiliyah dan riba Nasiah serta mengharamkan riba yang terjadi pada jual beli.
b.      As Sunnah
As Sunnah juga menjelaskan beberapa praktik riba dan larangannya bagi pelakunya seperti dalam hadist berikut
Dari Abi Hurairah Ra berkata bahwa Erasulullah Saw bersabda “Jauhilah oleh kalian tujuh hal yang mencelakan (diantaranya).... makan riba” ( HR. Muttafaq Alaih)
Dalam hadist lain disebutkan “Rasulullah Saw melaknat pemakan riba, yang memberi, yang mencatat dan dua saksinya. Belia bersabda “ mereka semua sama”” (HR. Muslim)
Dengan adanya dalil-dalil di atas sesungguhnya tidak ada celah bagi umat Islam untuk mencari alasan apapun demi menghalalkan riba. Karena dalil-dalil tersebut sangatlah shahih dan jelas, bahkan ancaman yang diberikan tidak main-main karena Allah memerangi orang-orang yang menjalankan riba.
2.      Jenis Jenis Riba
Menurut jenisnya riba dibagi menjadi empat jenis, diantaranya dua jenis berkaitan dengan hutang piutang dan dua jenis lainnya berkaitan dengan jual beli. Keempat jenis tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Riba Nasiah
Riba yang terjadi karena adanya penundaan pembayaran utang sebagai tambahan pada pokok pinjaman sebagai akibat tidak mampunya membayar hutang tersebut. Tambahan yang disyaratkan yang diambil oleh orang yang memberi hutang dari orang yang berhutang, sehingga harta yang menjadi tanggungan hutang orang tersebut menjadi berlipat ganda.
b.      Riba Fadhl
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi
c.       Riba jahiliyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan
d.      Riba Qard
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh)

B.       Riba dalam pencatatan akuntansi
Setiap pelaku ekonomi atau perusahaan baik perusahaan jasa maupun perusahaan dagang tidak akan luput dengan pencatatan keuangan atau yang sering disebut dengan pencatatan sistem akuntansi, dimana semua transaksi akan dimasukkan dalam pencatatan guna mengetahui keuntungan atau kerugian yang akan diperoleh dalam akhir periode tidak terkecuali dengan asset yang dimiliki sebagai tambahan modal usaha.
Dalam pencatatan keuangan sebuah perusahaan dikenal sebagai pencatatan keuangan dengan beberapa prosedur yang diawali dengan pencatatan Jurnal Umum, Jurnal Khusus, Buku Besar, Neraca Saldo, Penyesuaian, Kertas kerja hingga laporan laba rugi dan jurnal pembalik. Pencatatan keuangan tersebut pada prinsipnya untuk mengetahui sistem keuangan yang sedang berjalan pada waktu berjalan di perusahaan yang sedang berlangsung, sehingga seluruh kegiatan ekonomi dapat terkendali sampai akhir periode.
Namun tidak disadari selama pencatatan keuangan terdapat lebih dari satu transaksi yang mengandung unsur riba dalam penerapan ekonomi islam diantaranya :
a.      Pencatatan Pendapatan
Sebuah perusahaan yang menyimpan harta lancar khususnya uang tidak luput berhubungan dengan dunia perbankan, dimana perusahaan akan mencari kemudahan dan keutungan dalam menjalankan roda perekonomian perusahaan khususnya pada kelancaran bertransaksi. Penawaran bank pada perusahaan apabila mampu menyimpan dalam batas yang telah ditentukan akan menerima bunga sekian persen dalam jangka waktu tertentu yang biasanya dilakukan setiap bulan. Perolehan bunga akan dicatat oleh perusahaan sebagai berikut

           Kas                                          xxx
                       Pendapatan Bunga                  xxx

Pencatatan tersebut telah jelas adanya pendapatan bunga yang diberikan oleh pihak bank dan telah diterima oleh pihak perusahaan yang mengakibatkan bertambahnya harta lancar pihak perusahaan.
Dalam perspektif ekonomi islam, perolehan harta tersebut telah digolongkan sebagai riba Qardh dengan asumsi bahwa perusahaan menyimpan harta lancar pada bank berharap untuk mendapatkan lebih dari kauntungan yang diperoleh, sehingga adanya bunga dianggap sebagai pendapatan selain pendapatan bertransaksi secara riil.
b.      Pencatatan Pinjaman atau utang bunga
Tidak dapat dipungkiri bahwasanya setiap perusahaan akan melaksanakan kerjasama dengan pihak perbankan untuk melancarkan perekonomian perusahaan diantara adanya pinjam meminjam harta lancar. Kegiatan ini berdasarkan kesepakatan yang telah ditanda tangani kedua belah pihak dengan suku bunga selain pinajaman pokok yang akan dibayarkan oleh perusahaan apabila terlambat bayar kepada pihak bank.

           Beban Bunga                          xxx
                       Utang Bunga                           xxx

Model pencatatan diatas berasal dari transaksi peminjaman secara kredit, baik itu melalui penerbitan obligasi maupun wesel. “Buah” dari peminjaman secara kredit dinamakan bunga sedangkan bunga itu sendiri dalam pinjaman mengakibatkan jumlah yang dibayar menjadi lebih besar dari seharusny, walaupun pada kasus-kasus lain sering terjadi bunga pada obligasi maupun wesel menyebabkan jumlah yang dibayarkan menjadi lebih kecil atau besar dari yang seharusnya akibat adanya diskonto atau premi.
Pada transaksi diatas menunjukkan bunga yang harus dibayarkan pelaku ekonomi atau perusahaan kepada bank akibat adanya keterlambatan bayar yang dilakukan oleh ekonomi atau perusahaan, sehingga tidak menutup kemungkinan akan adanya kelipatan beban bunga yang harus dibayar, hal ini sesuai dengan menjalankan ribawi jahiliyah apabila tidak mampu membayar pokok utang yang diberikan oleh pihak bank.

C.      Dampak Riba
Riba menahan pertumbuhan ekonomi dan membahayakan kemakmuran nasional serta kesejahteraan individual dalam perusahaan dengan cara menyebabkan banyak terjadinya distorsi di dalam perekonomian nasional seperti inflasi, pengangguran, distribusi kekayaan tang tidak merata dan resesi yang tidak menutup kemungkinan akan terjadi pada pelaku ekonomi atau perusahaan skala kecil dalam pencatatan keuangannya.
Bunga menyebabkan timbulnya kejahatan ekonomi yang harus diakali oleh setiap perusahaan dengan mendorong penimbunan (hoarding) uang, sehingga mempengaruhi peredarannya diantara sebagian besar anggota yang menyebabkan timbulnya monopoli, kertel serta konsentrasi kekayaan ditangan sebagai kas. Dengan demikian distribusi kekayaan menjadi tidak merata apalagi dalam dunia perbankan akan memilah dananya dalam penyebarannya yaitu dana yang keluar untuk perusahaan skala besar dan skala kecil yang berdampak pada perkembangan perusahaan.
Investasi modal terhalang dari perusahaan-perusahaan yang tidak mampu menghasilkan laba yang sama atau lebih tinggi dari suku bunga yang sedang berjalan, sekalipun proyek yang ditangani oleh perusahaan itu amat penting bagi negara dan bangsa. Semua aliran sumber-sumber finansial di dalam negara berbelok ke arah perusahaan-perusahaan yang memiliki prospek laba yang sama atau lebih tinggi dari suku bunga yang sedang berjalan, sekalipun perusahaan tersebut tidak atau sedikit memiliki nilai sosial.

D.      Cara menghindari Riba
Pencatatan keuangan perusahaan tidak terlepas dengan munculnya bunga khususnya yang ditelah diberikan dan atau disepakati oleh perbankan dan perusahaan merupakan salah satu hal yang perlu dihindari. Hal ini dikarenakan pandangan tentang riba dalam era kemajuan zaman juga mendorong ke arah kedzaliman.
Pandangan riba juga mendorong maraknya perbankan Syariah dimana konsep keuntungan bagi perusahaan penabung di dapat dari sistem bagi hasil bukan dengan dengan bunga seperti bank konvensional pada umumnya. Karena menurut sebagian pendapat bunga termasuk riba. Hal yang sangat mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal jadi ketika nasabah sudah menginvestasikakn uangnya pada bank dengan tingkat suku bunga tertentu, maka akan dapat diketahui hasilnya dengan pasti. Berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil untuk deposannya.
Hal diatas membuktikan bahwa praktik pembungaan uang dalam berbagai bentuk transaksi saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw yakni riba nasi’at. Sehingga praktik pembungaan uang adalah haram.
Sebagai pengganti pencatatan akuntansi perusahaan yang sesuai dengan sistem perbankan maka kedua belah pihak yang bekerjasama menggunakan berbagai cara yang bersih dari unsur riba khususnya bank antara lain :
a.       Wadiah atau titipan uang, barang atau surat berharga atau deposito. Hal ini sangat sesuai untuk perusahaan yang pencatatan akuntansi tanpa adanya beban bunga yang harus dibayar.
b.      Mudharabah atau kerja sama antara pemilik modal dengan pelaksanaan atas dasar perjanjian profit sharing and loss sharing yang berarti perusahan dan perbankan akan saling menguntungkan. Dengan kata lain apabila perusahaan memiliki keuangan lebih yang disimpan ke bank akan diputar sebagai usaha bank melalui pinjaman usaha yang keuntungan dari perputaran uang di bank akan dibagi sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
c.       Syirkah atau perseroan dimana pihak bank dan pihak perusahaan sama-sama mempunyai andil (saham) pada usaha patungan (join venture)
d.      Murabahah atau jual beli barang dengan tambahan dengan tambahan harga atas dasar harga pembelian ang pertama secara jujur
e.       Qard hasan atau pinjaman yang baik (benevolent loan) yang berati memberikan pinjaman lunak tanpa bunga kepada perusahaan atau nasabah yang baik salah satunya bentuk pelayanan dan penghargaan.


BAB III
Kesimpulan
Riba bukan hanya merupakan perosalan masyarakat islam, tetapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan ini. Karenanya kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah dalam non muslim pun dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba. Maka, sepantasnya bila kajian riba  pun melihat perspektif dari kalangan non muslim tersebut.
Perdebatan masalah haramnya riba selama ini masih banyak pada tataran normatif dan dalil naqli saja, belum banyak pada kajian ekonomi secara teoritis dan dampak empirik (dalil aqli), apalagi yang berhubungan erat dengan sistem keuangan dan pencatatan akuntansi. Untuk itu perlu adanya kajian lebih lanjut tentang haramnya bunga (riba) dengan pendekatan ekonomi secraa empirik. Dengan membentuk suatu konsep yang difokuskan pada paradigma hubungan sistem bagi hasil, investasi dan pertumbuhan ekonomi. Sehingga hasilnya diharapkan dapat menjawab kontroversi riba, sehingga masyarakat atau perusahaan yang memilih sistem ekonomi Islam tidak hanya didasari oleh doktrin normatif agama saja melainkan juga didasari oleh cost and benefit secara ekonomis yang akan memudahkan dalam pencatatan transaksi akuntansi.


DAFTAR REFERENSI
Ali, M. D. (1988). Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI Press.
Antonio, M. S. (2001). Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
Antonio, M. S. (2008). Riba Dalam Perspektif Agama dan Sejarah. http:// islamlib.com/id/index.php?page = article&id=466 .
Mardani. (2012). Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syariah. Jakarta: Rajawali Pers.
Penyusun, T. (2012). Pengantar Ekonomi Islam. Pasuruan: Kurnia Advertising.
Redaksi-team. (1994). Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: PT. Ikhtiar Baru, Van Hoeve.
Sarwat, A. (-). Fiqh Seri Kehidupan (7) ; Muamalat. Jakarta: DU Publishing.
Trysutriani. (2014, 12). makalah riba dalam ekonoi islam. Dipetik 11 3, 2016, dari trysutriani.blogspot.co.id:http://trysutriani.blogspot.co.id/2014/12/makalah-riba-dalam-ekonomi-islam.html
Undip, K. (2008). Modul Ekonomi Islam Jilid 1. Semarang: KSEI Mizan Undip.

0 komentar:

Posting Komentar

Aka_Eka