BAB
I
A.
Latar
Belakang
Akuntansi sebagai ilmu yang akhir-akhir ini banyak
diminati dan dipelajari oleh masyarakat di dunia tentunya harus memiliki
teori-teori serta konsep yang dapat sesuai dan sejalan dengan kehidupan di masyarakat.
Ilmu akuntansi harus dapat berkembang serta digunakan tanpa merugikan seseorang
yang sedang melakukan suatu kegiatan transaksi.
Akuntansi yang dikenal saat ini, berkembang
berdasarkan tata nilai yang ada dalam masyarakat barat, maka konsep-konsep yang
dipakai sebagai dasar pembuatan dan pengembangan standar akuntansi berpihak
kepada kelompok kepentingan tertentu. Dari sisi ilmu pengetahuan, akuntansi
adalah ilmu yang mencoba mengkonversi bukti data menjadi informasi dengan cara
melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan dikelompokkan dalam account,
perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya dan laba
yang sekaligus sebagai praktik moral dalam pencatatan, akuntansi secara ideal
dibangun dan di praktikkan berdasarkan nilai-nilai etika, sehingga informasi
yang dipancarkan juga bernuansa etika, dan akhirnya keputusan-keputusan ekonomi
yang diambil berdasarkan etika yang mendorong diciptakannya realitas ekonomi
dan bisnis yang beretika. Sebagai praktik diskursif, akuntansi dipandang
sebagai alat menyampaikan informasi kepada orang lain yang berpengaruh pada
perilaku penggunanya, dan sebaliknya pengguna informasi akuntansi mempunyai
kemampuan mempengaruhi akuntansi sebagi instrumen bisnis.
Sering terjadinya kegagalan akuntansi konvensional
dalam memenuhi permintaan masyarakat akan informasi keuangan yang benar, jujur
dan adil, meningkatkan kesadaran di kalangan intelektual muslim akan perlunya
pengetahuan akuntansi yang islami. Perumusan kembali konsep-konsep pelaporan
transaksi keuangan dengan mendasarkan pada prinsip kebenaran, kejujuran dan
keadilan menjadi sangat mendesak untuk dilakukan. Oleh karena itu, akuntansi
syariahlah yang sekiranya mampu memberikan jalan terbaik dalam mengatur suatu
kegiatan bertransaksi yang menghindari adanya bunga yang memunculkan riba.
Hal ini sesuai dengan konsep dasar
yang telah diperkenalkan oleh Al Qur’an jauh sebelum Lucas Pacioli yang dikenal
sebagai bapak Akuntansi memperkenalkan konsep Akuntansi doubele entry bookeeping
dalam salah satu bukunya yang di tulisnya pada tahun 1494. Hal ini dapat
dilihat berdasarkan surah Al Baqarah ayat 282 yang intinya secara garis besar
Allah telah menggariskan konsep akuntansi yang menekankan pertanggungjawaban
atau akuntabilitas dan kebenaran yang menekankan adanya pertanggungjawaban.
Dengan kata lain, Islam menganggap
bahwa transaksi ekonomi (muamalah) memiliki
nilai urgensi yang sangat tinggi, sehingga adanya pencatatan dapat dijadikan
sebagai alat bukti (hitam di atas putih), menggunakan saksi (untuk
transaksi yang material) sangat diperlukan karena dikhawatirkan pihak-pihak
tertentu mengingkari perjanjian yang telah dibuat. Untuk itulah pembukuan yang
disertai penjelasan dan persaksian terhadap semua aktivitas ekonomi keuangan
harus berdasarkan surat-surat bukti berupa: faktur, nota, bon kuitansi atau
akta notaries untuk menghindari perselisihan antara kedua belah pihak. Dan
tentu saja adanya sistem pelaporan yang komprehensif akan memantapkan manajemen
karena semua transaksi dapat dikelola dengan baik sehingga terhindar dari
kebocoran-kebocoran.
Dari beberapa uraian diatas sangat
jelas bahwa islam dalam melaksanakan berbagai transaksi perlu adanya pencatatan
yang diikuti saksi atau bukti secara jelas dan gamblang dengan menghlangkan sistem
riba yang biasa muncul dalam hal pinjam meminjam dan jual beli secara kredit.
B.
Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini
menekankan pada bukti pencatatan akuntansi pendapatan bunga serta hutang bunga
yang sering dan bahkan dilakukan oleh pelaku ekonomi secara nyata akan
terjadinya riba.
C.
Rumusan
Masalah
Dari beberapa penjelasan tersebut
diatas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah
pengertian riba ?
2. Bagaimanakah
pencatatan akuntansi yang dilakukan pelaku ekonomi atapun perusahaan ?
3. Dampak
riba yang dilaksanakan oleh pelaku ekonomi yang berbasis konvensional ?
4. Bagaimana
cara menghindari riba para pelaku ekonomi ?
BAB
II
A.
Pengertian
Riba
Secara bahasa riba berarti Ziyadah ( زیادة ) atau
tambahan, dan secara istilah berarti tambahan pada harta yang disyaratkan dalam
transaksi dari dua pelaku akad dalam tukar menukar antara harta dengan harta.
Sebagian ilama ada yang menyandarkan definisi riba pada hadist yang
diriwayatkan al Harits bin Usamah dari ali bin Abi Thalib, yaitu bahwa
Rasulullah SAW bersabda “ setiap hutang yang menimbulkan manfaat adalah Riba.
Pendapat ini tidak tepat, karena
hadist itu sendiri sanadnya lemah, sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Jumhur
ulama tidak menjadikan hadist ini sebagai definisi riba karena tidak menyeluruh
dan tidak lengkap, disamping itu ada manfaat yang bukan riba yaitu pemberian
tambahan atas hutang tersebut tidak disyaratkan.
Pendapat lain mengatakan bahwa
pengertian riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara
bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum
terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan,
baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau
bertentangan dengan prinsip muamalah dalam islam
1. Dalil
Mengharamkan Riba
Riba secara mutlak telah di
haramkan oleh Allah Swt danRasulullah Saw melalui ayat-ayat Al Qur’an dan
Sunnagh Rasulullah Saw diantaranya sebagai berikut :
a. Al
Qur’an
Al Qur’an menjelaskan haram
hukumnya riba dalam empat marhalah/tahap. Doktor Wahbat Az-Zuhaili dalam Tafsir
Al-Munir menjelaskan tahapan tersebut adalah ;
1)
Tahap Pertama
Allah Swt telah berfirman yang
artinya “ Dan sesuatu (tambahan) yang
kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah”. (QS. Ar Rum : 39)
Ayat yang diturunkan di Makkah ini
menjadi tamhid atau awal mula diharamkannya tambahan atau riba dan urgensi
untuk menjauhi riba.
2)
Tahap Kedua
Pada tahapan ini larangan riba di
tujukan untuk kaum Yahudi atas kezaliman yang telah dilakukan, sesuai dengan
firman Allah Swt “ Maka disebabkan
kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka(tambahan makanan) yang
baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak
menghalangi (manusia) dari jalan Allah” (QS. An Nisa : 160-161)
Ayat yang turun di Madinah ini
menceritakan tentang perilaku Yahudi yang memakan riba dan di hukum oleh Allah
dimana menekankan suatu peringatan bagi pelaku riba..
3)
Tahap Ketiga
Al Qur’an mengharamkan jenis riba
yang bersifat Fahisy, yaitu riba jahiliyah yang berlipat ganda. Allah berfirman
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan” ( QS. Ali Imran : 130 )
4)
Tahap Keempat
“ Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat)
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkakn riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan)”. (QS. Al
Baqarah : 275)
Dalam surah yang sama Allah
Berfirman“Hai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan
sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan
jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya” (QS. Al Baqarah: 278-279)
Pada tahap ini Al Qur’an telah
mengharamkan seluruh riba dan segala macamnya baik jenis dan macam riba bukan
saja riba Jahiliyah dan riba Nasiah serta mengharamkan riba yang terjadi pada
jual beli.
b. As
Sunnah
As Sunnah juga menjelaskan beberapa
praktik riba dan larangannya bagi pelakunya seperti dalam hadist berikut
Dari Abi Hurairah Ra berkata bahwa
Erasulullah Saw bersabda “Jauhilah oleh
kalian tujuh hal yang mencelakan (diantaranya).... makan riba” ( HR.
Muttafaq Alaih)
Dalam hadist lain disebutkan “Rasulullah Saw melaknat pemakan riba, yang
memberi, yang mencatat dan dua saksinya. Belia bersabda “ mereka semua sama””
(HR. Muslim)
Dengan adanya dalil-dalil di atas
sesungguhnya tidak ada celah bagi umat Islam untuk mencari alasan apapun demi
menghalalkan riba. Karena dalil-dalil tersebut sangatlah shahih dan jelas,
bahkan ancaman yang diberikan tidak main-main karena Allah memerangi
orang-orang yang menjalankan riba.
2. Jenis
Jenis Riba
Menurut jenisnya riba dibagi
menjadi empat jenis, diantaranya dua jenis berkaitan dengan hutang piutang dan dua
jenis lainnya berkaitan dengan jual beli. Keempat jenis tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Riba
Nasiah
Riba yang terjadi karena adanya
penundaan pembayaran utang sebagai tambahan pada pokok pinjaman sebagai akibat
tidak mampunya membayar hutang tersebut. Tambahan yang disyaratkan yang diambil
oleh orang yang memberi hutang dari orang yang berhutang, sehingga harta yang
menjadi tanggungan hutang orang tersebut menjadi berlipat ganda.
b. Riba
Fadhl
Pertukaran antar barang sejenis
dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu
termasuk dalam jenis barang ribawi
c. Riba
jahiliyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya
karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan
d. Riba
Qard
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan
tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh)
B.
Riba
dalam pencatatan akuntansi
Setiap pelaku ekonomi
atau perusahaan baik perusahaan jasa maupun perusahaan dagang tidak akan luput
dengan pencatatan keuangan atau yang sering disebut dengan pencatatan sistem
akuntansi, dimana semua transaksi akan dimasukkan dalam pencatatan guna
mengetahui keuntungan atau kerugian yang akan diperoleh dalam akhir periode
tidak terkecuali dengan asset yang dimiliki sebagai tambahan modal usaha.
Dalam pencatatan
keuangan sebuah perusahaan dikenal sebagai pencatatan keuangan dengan beberapa
prosedur yang diawali dengan pencatatan Jurnal Umum, Jurnal Khusus, Buku Besar,
Neraca Saldo, Penyesuaian, Kertas kerja hingga laporan laba rugi dan jurnal
pembalik. Pencatatan keuangan tersebut pada prinsipnya untuk mengetahui sistem
keuangan yang sedang berjalan pada waktu berjalan di perusahaan yang sedang
berlangsung, sehingga seluruh kegiatan ekonomi dapat terkendali sampai akhir
periode.
Namun tidak disadari
selama pencatatan keuangan terdapat lebih dari satu transaksi yang mengandung
unsur riba dalam penerapan ekonomi islam diantaranya :
a.
Pencatatan
Pendapatan
Sebuah perusahaan yang
menyimpan harta lancar khususnya uang tidak luput berhubungan dengan dunia
perbankan, dimana perusahaan akan mencari kemudahan dan keutungan dalam
menjalankan roda perekonomian perusahaan khususnya pada kelancaran
bertransaksi. Penawaran bank pada perusahaan apabila mampu menyimpan dalam
batas yang telah ditentukan akan menerima bunga sekian persen dalam jangka
waktu tertentu yang biasanya dilakukan setiap bulan. Perolehan bunga akan
dicatat oleh perusahaan sebagai berikut
Kas xxx
Pendapatan Bunga xxx
Pencatatan tersebut
telah jelas adanya pendapatan bunga yang diberikan oleh pihak bank dan telah
diterima oleh pihak perusahaan yang mengakibatkan bertambahnya harta lancar
pihak perusahaan.
Dalam perspektif
ekonomi islam, perolehan harta tersebut telah digolongkan sebagai riba Qardh
dengan asumsi bahwa perusahaan menyimpan harta lancar pada bank berharap untuk
mendapatkan lebih dari kauntungan yang diperoleh, sehingga adanya bunga
dianggap sebagai pendapatan selain pendapatan bertransaksi secara riil.
b.
Pencatatan
Pinjaman atau utang bunga
Tidak dapat dipungkiri
bahwasanya setiap perusahaan akan melaksanakan kerjasama dengan pihak perbankan
untuk melancarkan perekonomian perusahaan diantara adanya pinjam meminjam harta
lancar. Kegiatan ini berdasarkan kesepakatan yang telah ditanda tangani kedua
belah pihak dengan suku bunga selain pinajaman pokok yang akan dibayarkan oleh
perusahaan apabila terlambat bayar kepada pihak bank.
Beban Bunga xxx
Utang Bunga xxx
Model pencatatan diatas
berasal dari transaksi peminjaman secara kredit, baik itu melalui penerbitan
obligasi maupun wesel. “Buah” dari peminjaman secara kredit dinamakan bunga
sedangkan bunga itu sendiri dalam pinjaman mengakibatkan jumlah yang dibayar
menjadi lebih besar dari seharusny, walaupun pada kasus-kasus lain sering
terjadi bunga pada obligasi maupun wesel menyebabkan jumlah yang dibayarkan
menjadi lebih kecil atau besar dari yang seharusnya akibat adanya diskonto atau
premi.
Pada transaksi diatas
menunjukkan bunga yang harus dibayarkan pelaku ekonomi atau perusahaan kepada
bank akibat adanya keterlambatan bayar yang dilakukan oleh ekonomi atau
perusahaan, sehingga tidak menutup kemungkinan akan adanya kelipatan beban
bunga yang harus dibayar, hal ini sesuai dengan menjalankan ribawi jahiliyah
apabila tidak mampu membayar pokok utang yang diberikan oleh pihak bank.
C.
Dampak
Riba
Riba menahan pertumbuhan ekonomi
dan membahayakan kemakmuran nasional serta kesejahteraan individual dalam
perusahaan dengan cara menyebabkan banyak terjadinya distorsi di dalam
perekonomian nasional seperti inflasi, pengangguran, distribusi kekayaan tang
tidak merata dan resesi yang tidak menutup kemungkinan akan terjadi pada pelaku
ekonomi atau perusahaan skala kecil dalam pencatatan keuangannya.
Bunga menyebabkan timbulnya
kejahatan ekonomi yang harus diakali oleh setiap perusahaan dengan mendorong
penimbunan (hoarding) uang, sehingga mempengaruhi peredarannya diantara
sebagian besar anggota yang menyebabkan timbulnya monopoli, kertel serta
konsentrasi kekayaan ditangan sebagai kas. Dengan demikian distribusi kekayaan
menjadi tidak merata apalagi dalam dunia perbankan akan memilah dananya dalam
penyebarannya yaitu dana yang keluar untuk perusahaan skala besar dan skala
kecil yang berdampak pada perkembangan perusahaan.
Investasi modal terhalang dari
perusahaan-perusahaan yang tidak mampu menghasilkan laba yang sama atau lebih
tinggi dari suku bunga yang sedang berjalan, sekalipun proyek yang ditangani
oleh perusahaan itu amat penting bagi negara dan bangsa. Semua aliran
sumber-sumber finansial di dalam negara berbelok ke arah perusahaan-perusahaan
yang memiliki prospek laba yang sama atau lebih tinggi dari suku bunga yang
sedang berjalan, sekalipun perusahaan tersebut tidak atau sedikit memiliki
nilai sosial.
D.
Cara
menghindari Riba
Pencatatan keuangan perusahaan
tidak terlepas dengan munculnya bunga khususnya yang ditelah diberikan dan atau
disepakati oleh perbankan dan perusahaan merupakan salah satu hal yang perlu
dihindari. Hal ini dikarenakan pandangan tentang riba dalam era kemajuan zaman
juga mendorong ke arah kedzaliman.
Pandangan riba juga mendorong
maraknya perbankan Syariah dimana konsep keuntungan bagi perusahaan penabung di
dapat dari sistem bagi hasil bukan dengan dengan bunga seperti bank
konvensional pada umumnya. Karena menurut sebagian pendapat bunga termasuk
riba. Hal yang sangat mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank dapat diketahui
bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal jadi
ketika nasabah sudah menginvestasikakn uangnya pada bank dengan tingkat suku
bunga tertentu, maka akan dapat diketahui hasilnya dengan pasti. Berbeda dengan
prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil untuk deposannya.
Hal diatas membuktikan bahwa
praktik pembungaan uang dalam berbagai bentuk transaksi saat ini telah memenuhi
kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw yakni riba nasi’at.
Sehingga praktik pembungaan uang adalah haram.
Sebagai pengganti pencatatan
akuntansi perusahaan yang sesuai dengan sistem perbankan maka kedua belah pihak
yang bekerjasama menggunakan berbagai cara yang bersih dari unsur riba
khususnya bank antara lain :
a. Wadiah
atau titipan uang, barang atau surat berharga atau deposito. Hal ini sangat
sesuai untuk perusahaan yang pencatatan akuntansi tanpa adanya beban bunga yang
harus dibayar.
b. Mudharabah
atau kerja sama antara pemilik modal dengan pelaksanaan atas dasar perjanjian
profit sharing and loss sharing yang berarti perusahan dan perbankan akan
saling menguntungkan. Dengan kata lain apabila perusahaan memiliki keuangan
lebih yang disimpan ke bank akan diputar sebagai usaha bank melalui pinjaman
usaha yang keuntungan dari perputaran uang di bank akan dibagi sesuai
kesepakatan kedua belah pihak.
c. Syirkah
atau perseroan dimana pihak bank dan pihak perusahaan sama-sama mempunyai andil
(saham) pada usaha patungan (join venture)
d. Murabahah
atau jual beli barang dengan tambahan dengan tambahan harga atas dasar harga
pembelian ang pertama secara jujur
e. Qard
hasan atau pinjaman yang baik (benevolent loan) yang berati memberikan pinjaman
lunak tanpa bunga kepada perusahaan atau nasabah yang baik salah satunya bentuk
pelayanan dan penghargaan.
BAB
III
Kesimpulan
Riba bukan hanya merupakan perosalan
masyarakat islam, tetapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius
persoalan ini. Karenanya kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur
hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah dalam non muslim pun dari masa ke
masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba. Maka, sepantasnya bila
kajian riba pun melihat perspektif dari
kalangan non muslim tersebut.
Perdebatan masalah haramnya riba selama
ini masih banyak pada tataran normatif dan dalil naqli saja, belum banyak pada
kajian ekonomi secara teoritis dan dampak empirik (dalil aqli), apalagi yang
berhubungan erat dengan sistem keuangan dan pencatatan akuntansi. Untuk itu
perlu adanya kajian lebih lanjut tentang haramnya bunga (riba) dengan
pendekatan ekonomi secraa empirik. Dengan membentuk suatu konsep yang
difokuskan pada paradigma hubungan sistem bagi hasil, investasi dan pertumbuhan
ekonomi. Sehingga hasilnya diharapkan dapat menjawab kontroversi riba, sehingga
masyarakat atau perusahaan yang memilih sistem ekonomi Islam tidak hanya
didasari oleh doktrin normatif agama saja melainkan juga didasari oleh cost and
benefit secara ekonomis
yang akan memudahkan dalam pencatatan transaksi akuntansi.
DAFTAR
REFERENSI
Ali, M. D. (1988). Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf.
Jakarta: UI Press.
Antonio, M. S. (2001). Bank
Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
Antonio, M. S. (2008). Riba Dalam
Perspektif Agama dan Sejarah. http:// islamlib.com/id/index.php?page =
article&id=466 .
Mardani. (2012). Ayat-Ayat dan
Hadis Ekonomi Syariah. Jakarta: Rajawali Pers.
Penyusun, T. (2012). Pengantar
Ekonomi Islam. Pasuruan: Kurnia Advertising.
Redaksi-team. (1994). Ensiklopedia
Hukum Islam. Jakarta: PT. Ikhtiar Baru, Van Hoeve.
Sarwat, A. (-). Fiqh Seri
Kehidupan (7) ; Muamalat. Jakarta: DU Publishing.
Trysutriani. (2014, 12). makalah
riba dalam ekonoi islam. Dipetik 11 3, 2016, dari
trysutriani.blogspot.co.id:http://trysutriani.blogspot.co.id/2014/12/makalah-riba-dalam-ekonomi-islam.html
Undip, K. (2008). Modul Ekonomi
Islam Jilid 1. Semarang: KSEI Mizan Undip.
0 komentar:
Posting Komentar